“ Kisah Cinta Tragis Pengantin Bekakak di Tanah Ambarketawang. Diperlakukan selayaknya manusia, lalu ditumbalkan untuk penolak bala, pelindung kehidupan anak manusia.”
Halo Sobat Titenan, pernah mendengar istilah Upacara Bekakak? Apakah upacara ini menyembelih pengantin? Terdengar menarik kan, yukk ikuti kisah upacara ini.
Upacara Saparan Bekakak dilaksanakan setiap bulan Sapar di hari Jumat di Ambarketawang, Gamping, Sleman. Pada zaman dahulu, upacara bekakak dilakukan sebagai simbol untuk mengenang jasa atas kesetiaan Ki Wirosuta dan Nyai Wirasuta selaku demang kepada gustinya yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Tahun 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang masih bergelar Pangeran Mangkubumi sedang membangun keraton di kotamadya. Beliau tinggal di pesanggrahan Ambarketawang bersama abdi setianya, Kyai Wirasuta. Daerah Ambarketawang, gunung Gamping merupakan pegunungan batu kapur yang dimanfaatkan masyarakat. Setelah pembangunan keraton selesai, Pangeran Mangkubumi kembali ke keraton, tetapi Kyai Wirasuta dan istrinya tetap memilih tinggal pesanggrahan.
Naasnya, terjadi malapetaka di Jumat Kliwon, bulan Sapar, Gunung Gamping runtuh menimpa Kyai WIrasuta dan istrinya. Namun, ketika dilakukan pencarian, jasadnya tidak ditemukan, sehingga Kyai dan Nyai WIrasuta dianggap muksa atau hilang.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Ambarketawang resah karena sering terjadi musibah runtuhnya Gunung Gamping setiap Sapar. Atas keresahan tersebut, Sri sultan menitahkan masyarakat mengadakan upacara penyembelihan sepasang pengantin Bekakak di pesanggrahan Gunung Gamping untuk menolak bala dan musibah.
Saat ini, tradisi upacara Bekakak menjadi simbol alat perlindungan untuk menjauhkan masyarakat dari bahaya dan entitas supranatural yang terkait dengan Gunung Gamping. Upacara dilakukan diawali dengan kirab budaya, iring-iringan boneka bekakak. Setelah itu, sepasang boneka Bekakak dibawa ke pesanggrahan Gunung Gamping dan disembelih di tempat. Boneka tersebut terbuat dari tepung ketan yang dibuat menyerupai manusia dan didandani layaknya pengantin lengkap dengan sesaji dalam keranda. Di dalam boneka tersebut, berisi air gula jawa yang diibaratkan darah, sehingga ketika disembelih seolah-oleh mengeluarkan darah.
Add comment